Senin, 01 Maret 2010

Indonesia: Bukan Sekedar Tempat Lahir Beta




Indonesia, apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata "Indonesia"? Negeri kaya akan sumber daya alam, penduduknya ramah tamah, adil dan makmur, tempat lahir beta. Dari sederet jargon ini, mungkin satu-satunya yang benar 100% adalah yang terakhir. Ketiga di awal lebih merupakan ketegangan antara realitas dan ilusi yang dibangun semasa pemerintahan Orde Baru dengan maksud memelihara status quo para petinggi negeri.

Ramah hanya bagi yang berduit. Ada duit ada layanan dan keramahan! Tidak ramah bagi yang tidak berduit. Tidak ada duit, tidak ada layanan dan keramahan. Alam kita memang kaya, tapi sebagian besar kekayaannya sudah diangkut ke negeri orang. Rakyat tetap ada di dalam lingkaran kemiskinan, kebodohan, kesenjangan antara pemilik modal dan rakyat jelata masih cukup tinggi. Adil dan makmur? Adil dan makmur bagi yang kebagian "kue" yang bernama harta, sumber daya alam, kekuasaan. Sementara ketidakadilan dan penderitaan tetap dialami bagi mereka yang tidak kebagian "kue".

Mei 1998 adalah awal perubahan sistem pemerintahan negeri kita dengan didudukinya gedung MPR/DPR oleh mahasiswa dari berbagai kalangan Universitas di Indonesia. Soeharto pun lengser, mengawali jaman reformasi. Apakah perubahan telah terjadi? Ya, semua orang kini bebas mengekspresikan pendapatnya. Bahkan ada yang sampai keblabasan dengan mengabaikan etika serta kesantunan berpendapat. Tetapi apakah perubahan tadi diikuti oleh keadilan dan kemakmuran yang semakin dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan? Nampaknya tidak. Ternyata kebebasan saja tidak cukup, kekebasan masih harus diikuti dengan tanggung jawab bersama seluruh rakyat dalam membangun negeri.

Tulisan ini adalah sebuah bentuk keprihatinan penulis melihat dalam waktu beberapa bulan ini masyarakat kita terus menerus disuguhi berita di berbagai media massa sehubungan dengan bail out (dana talangan) bank Century. Pembentukan Pansus yang sedianya untuk menyelidiki, menindak tegas siapa saja yang terlibat dalam kasus penyimpangan dana talangan bank Century, memberi keadilan pada pihak-pihak yang dirugikan (dalam hal ini rakyat), malah saling adu argumentasi, saling memaki, adu kekuatan. Betapa ironis, anggota Pansus yang menghabiskan biaya sampai hitungan milyar tetapi kerjanya hanya berdebat, berkelahi, menambah ricuh. Kalau petinju profesional jelas berkelahi dan dibayar, itupun ada aturannya! Tidak boleh sembarang memukul. Lah, kalau yang ini??

Seorang kawan mengomentari di FB, "Apakah Anda bangga dengan wakil rakyat yang waktu sidang melempar palu ke pimpinan sidang? ("...itulah Indonesia...")" Kalimat pertama bagi penulis adalah pertanyaan retorik yang tidak memerlukan jawaban. Jelas masyarakat mana yang bangga dipimpin oleh orang yang keputusan dan tindakannya hanya berasal dari emosi pribadinya (mengabaikan rasionalitas)? Kalimat dalam tanda kutip penulis kurang setuju, karena Indonesia berarti mencakup masyarakat secara keseluruhan. Sementara penulis meyakini bahwa tidak semua rakyat Indonesia bertingkah laku seperti layaknya anggota Pansus tadi! Meski harus diakui kita seharusnya merasa malu bila melihat contoh negara-negara lain yang memiliki kesantunan luar biasa, misalnya Korea Selatan atau Cina. Dari sejarahnya, Cina adalah sebuah negara dimana sebagian besar rakyatnya masih menganut ajaran Confusius yang menjunjung tinggi moral / etika dalam hubungan dengan sesama maupun alam. Filosofi Confusius ini benar-benar mendarang daging di dalam diri orang-orang Cina. Orang merasa malu bila tidak hidup sesuai dengan ajaran moral / etika di tengah-tengah lingkungan masyarakatnya.

Sekarang mari kita melihat negeri kita sendiri, Indonesia. Dari segi falsafah / ideologi negara, kita memiliki Pancasila. Pertanyaannya, "Mengapa Pancasila seperti kehilangan rohnya?" Penulis teringat semasa SD dulu setiap hari Senin pagi diwajibkan mengikuti upacara bendera mengenakan seragam merah putih dengan topi dan dasi. Setiap kali upacara bendera pula, kami mengikrarkan "Pancasila": (1) Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. (3) Persatuan Indonesia. (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan / perwakilan. (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima sila di dalam Pancasila begitu indah terdengar, ada keharmonisan, kemakmuran, keadilan, kesantunan di sana. Tapi mengapa segala yang indah ini seolah-olah hilang lenyap begitu saja? Apakah karena Pancasila hanya dibuat oleh segelintir orang pada waktu masa awal-awal kemerdekaan Indonesia? Hanya sebagai salah satu syarat untuk dapat ditetapkan sebagai sebuah negara yang merdeka?

Harus ada landasan filosofis, moral, etika, dan spiritual yang mestinya dijunjung tinggi serta mendarah daging dalam diri segenap rakyatnya, baik dari kalangan ekonomi kuat maupun ekonomi lemah, warna kulit, suku, bahasa daerah, status sosial, tingkat pendidikan, bila Indonesia ingin memiliki martabat dan dihormati di mata negara-negara lain.

Sudah saatnya yang terujar dari mulut kita bukan nada pesimis tanpa harapan, "...itulah Indonesia..." (dengan segala carut marutnya). Sebab bagaimana mungkin kita mengharapkan negara lain menghargai negara kita bila kita sendiri ternyata masih bersikap pesimis dan cenderung memandang negatif negeri kita sendiri? Minimal dimulai dari diri kita sendiri. Caranya? Tunjukkanlah profesionalisme kita di dalam studi maupun pekerjaan kita. Apapun bidang yang kita geluti memiliki sumbangsih (peranan) sebagai bentuk pengabdian pada keluarga, masyarakat dan negeri.


Jakarta, 2 Maret 2010
2.56 pm
Markus Hadinata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar