Kamis, 26 November 2009

Musik dalam Hubungannya dengan Organisasi

Hidup manusia tidak bisa terlepas dari organisasi. Sejak lahir sampai meninggal manusia memiliki keterkaitan dengan diri dan lingkungannya. Mulai dari lingkup keluarga pun sudah ada upaya mengorganisasi, misalnya mengenai siapa yang mencari nafkah, siapa yang mengelola keuangan, siapa yang memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, mengantar anak-anak sekolah. Semua itu jelas memerlukan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat bersama.

Itu baru di keluarga. Lalu bagaimana dengan lingkup yang lebih luas, misalnya di masyarakat? Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup seorang diri saja. Ia membutuhkan manusia lain untuk hidup.

Lalu bagaimana jika organisasi dikaitkan dengan musik?

Jika kita pernah menonton sebuah pertunjukkan musik, entah itu di sebuah universitas, di lapangan terbuka, di conservatorium, atau di cafe, maka itu pun adalah hasil dari bagaimana pihak penyelenggara, pemain musik, dekorator panggung saling bekerja sama dan mengorganisir satu sama lain. Sebuah pertunjukkan musik yang menimbulkan kesan hebat tentu memerlukan upaya mengorganisasi yang baik serta detail, kemampuan komunikasi interpersonal, dan komitmen yang dibangun bersama dengan sungguh demi terlaksananya pertunjukkan musik tersebut.

Ada seorang teman penulis yang sama-sama mengikuti kursus musik gereja di Pusat Musik Liturgi Yogyakarta yang berkata, "Pusat Musik Liturgi ini kok mau ya repot-repot ngadain acara ibadah pentas dengan melibatkan anak-anak dari berbagai sekolah?" Sebuah pertanyaan retorik yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh Romo Karl Edmund Prier, SJ (Pimpinan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta) pada waktu beliau memberikan pelajaran kepada para siswa kursus, bahwa musik bukan hanya mengenai seni, bermain dengan bagus, tetapi juga mengenai organisasi!

Tanpa kemampuan melakukan organisasi yang baik, terencana, terstruktur rapi, maka sebuah pertunjukan musik tidak akan dapat terselenggara dengan baik. Dengan demikian musik hanya dapat dinikmati oleh si pemain saja, tapi tidak bisa dinikmati oleh khalayak yang lebih luas. Akibatnya keberadaannya lambat laun akan mengalami kemunduran karena tidak ada upaya pengenalan, promosi, atau pertunjukkan kepada komunitas yang lebih luas.


Jogjakarta, 26 November 2009
8.15 pm
Markus Hadinata

Sabtu, 21 November 2009

Sebuah Pengalaman Baru!


Kemarin sore saya diajak untuk menjadi singer dalam misa persiapan pernikahan teman dari temanku yang bertempat di salah satu rumah makan sekitar Malioboro. Jumat pagi sebelumnya kami sudah berlatih mengenai lagu2 yang akan dinyanyikan. Yang membuat agak Be Te adalah karena menunggu terlalu lama. Acara yang menurut temanku mulai pukul 5 sore ternyata baru mulai pukul 18.20 setelah romo datang! Agak kehilangan mood untuk bernyanyi karena menunggu terlalu lama, namun akhirnya kami bernyanyi juga.

Ada dua hal yang menarik dari pengalaman pertama menjadi singer di misa persiapan pernikahan kemarin. Pertama, ketika mengamati siapa saja tamu undangan yang hadir. Hanya beberapa gelintir saja tamu undangan yang masih berusia muda. Sebagian besar tamu sudah berusia dewasa dan lanjut. Mereka adalah keluarga dari kedua pihak mempelai yang akan melangsungkan pernikahan. Dugaan saya mungkin karena ini bukan acara resepsi, melainkan hanya misa persiapan pernikahan, maka yang hadir tidak begitu banyak melampaui 300 an orang seperti layaknya sebuah resepsi pernikahan.

Kedua, sewaktu romo berkotbah beliau mengawali kotbahnya dengan kalimat, "Kita hadir pada malam ini di sini bukan untuk makan, melainkan untuk berdoa bagi kedua pihak mempelai yang akan melangsungkan pernikahan." Dari sini pada tamu undangan disadarkan bahwa mereka hadir pada malam itu bukan untuk diri mereka sendiri, melainkan untuk berdoa bagi kebahagiaan kedua pihak mempelai.

Selanjutnya romo memberi 3 nasihat yang diambil dari Kitab Suci Ibrani 13:1-5 yang merupakan nasihat dari penatua kepada orang-orang Ibrani. Nasihat pertama sehubungan dengan memelihara kasih persaudaraan. Dengan santai romo turun dari mimbar dan menghampiri kedua mempelai, lalu bertanya kepada keduanya, "Sejak kapan berjumpa untuk pertama kalinya? Apa yang dilakukan untuk memelihara kasih persaudaraan?" Kedua mempelai memiliki jawaban sama terhadap pertanyaan romo sehubungan dengan memelihara kasih persaudaraan, "Sabar." Pihak perempuan berupaya sabar bila kekasihnya berkata, "Aku akan menjemputmu", ini artinya sejam lagi baru datang! Sementara pihak laki-laki berupaya sabar ketika kekasihnya ingin agar ia berhenti merokok bila ingin menjadi suaminya.

Nasihat kedua sehubungan dengan menaruh sikap hormat terhadap perkawinan untuk tidak mencemarkan tempat tidur. Kalau yang ini kiranya sudah jelas. Hubungan seperti layaknya suami istri hendaknya dilakukan setelah menikah. Selain terkait dengan budaya, secara sosial hubungan sepasang kekasih yang terlampau jauh sebelum nikah memunculkan perasaan yang kurang menyenangkan bagi komunitas yang lebih luas, yaitu keluarga, gereja, dan masyarakat. Secara rohani, janji pernikahan di hadapan TUHAN dan jemaat memberi landasan komitmen yang kuat dalam membangun hidup berumah tangga di dalam TUHAN.

Nasihat ketiga (terakhir) seturut dengan ayat bacaan di dalam Kitab Suci Ibrani tadi adalah jangan menjadi hamba uang. Sebuah pernikahan yang bahagia tidak akan terwujud ketika uang menjadi fokus perhatian utama di dalam hidup berkeluarga. Memang tidak bisa dipungkiri selama hidup kita memerlukan uang, namun jika uang sudah menyita seluruh perhatian dan energi, maka uang tidak lagi menjadi sarana melainkan 'tuan' yang memperbudak.

Ketiga nasihat inilah yang menjadi isi kotbah romo bagi kedua pihak mempelai yang akan melangsungkan pernikahannya esok hari. Nasihat yang lebih mungkin didengar oleh kedua pihak mempelai pada malam hari itu di dalam misa persiapan pernikahan daripada jika nasihat diberikan pada saat misa pernikahan. Karena pada saat misa pernikahan berlangsung, kedua pihak mempelai biasanya tidak begitu menaruh perhatian terhadap isi kotbah yang romo sampaikan karena rasa bahagia berlebihan yang melingkupi diri mereka. Hal ini juga merupakan pengalaman pribadi yang disampaikan romo di dalam kotbahnya malam itu, bedanya hal ini dialami ketika misa penahbisan menjadi romo. Romo tidak ingat lagi kotbah dari Mgr. (baca: monsinyur) karena rasa bahagia berlebihan yang melingkupi hati romo.

Bagaimanapun, proses lebih lanjut yang berlangsung seumur hidup adalah masalah penyesuaian, menciptakan harmoni (keselarasan / keindahan), yang merupakan bagian dari upaya memelihara dan mengembangkan cinta yang sudah ada. Lebih mudah mendirikan sebuah rumah daripada memeliharanya agar tetap terlihat asri, sejuk dan nyaman untuk ditinggali.

Semoga pengalaman saya pertama kalinya menjadi singer di misa persiapan pernikahan kemarin malam yang tertuang melalui notes kali ini bisa memberkati dan menginspirasi teman-teman semua. Salam.. ^^


Jogjakarta, 22 November 2009
7.18 am
dari dalam bilik kamar kost yang kecil dan dingin
(Musin Hujan)
Markus Hadinata