Kamis, 31 Desember 2009

Bercermin Diri: Sebuah Refleksi Tahun Baru


Mengapa tiap malam tahun baru hampir bisa dipastikan terdengar bunyi terompet dan petasan? Pertanyaan ini mengawali perenunganku di tahun baru 2010.

Dunia yang kita tinggali ini penuh dengan bunyi-bunyian. Pada waktu malam hari terdengar suara jangkrik bernyanyi dengan riangnya. Bunyi gemericik air kali mengalir di depan rumahku. Di kejauhan terdengar desingan roda-roda kereta api yang menyentuh rel dengan bunyi klaksonnya yang khas. Salah seorang tetanggaku terdengar mengucapkan ucapan selamat tahun baru.

Jika melihat sejarah perkembangan kehidupan manusia di bumi ini, manusia agaknya menyukai bunyi-bunyian. Manusia menciptakan berbagai jenis alat musik, lagu-lagu dan tari-tarian untuk mengisi kesunyian selain untuk menyalurkan bakat serta ekspresi diri tentunya. Bisa dibayangkan betapa sunyi senyap dunia ini tanpa bunyi-bunyian!

Sikap yang beragam pun ditunjukkan orang-orang dalam rangka menyambut tahun baru. Beberapa orang memilih berkumpul bersama keluarga tercinta sambil makan-makan di luar rumah (jajan), beberapa lagi memilih kumpul bersama teman-teman sambil pesta kecil-kecilan, beberapa umat Kristiani menyambut tahun baru dengan pergi mengikuti kebaktian malam tahun baru di gereja, beberapa orang lebih memilih untuk tidak pergi kemana-mana alias diam di kamar sambil berefleksi, tapi ada juga yang tidak mau ambil pusing alias tidur! :)

Aku sendiri termasuk tipe orang yang memilih untuk berdiam diri di kamar sambil berupaya merenungkan kehidupan yang telah kujalani di tahun 2009 lalu, serta berupaya memahami harapan-harapanku di tahun baru ini.

Sepanjang tahun 2009 aku sungguh merasakan berbagai peristiwa, pengalaman suka duka kehidupan yang membentuk aku menjadi semakin baik, bijaksana, serta lebih dewasa dalam menyikapi berbagai situasi kehidupan. Mulai dari kepulangan stage di GKI Kebonjati Bandung pada awal bulan Januari 2009, perjuangan mengerjakan skripsi selama satu semester (Januari s.d. Mei 2009), lulus ujian skripsi pada bulan Mei 2009, Bina Kader selama satu minggu pada minggu akhir bulan September 2009, dan satu semester yang masih harus kutempuh sehubungan dengan matakuliah Teologi Komunikasi yang belum kuambil.

Dan sekarang, tanpa terasa sudah hampir dua minggu lamanya aku berada di Cirebon! Hari Minggu besok aku sudah harus kembali lagi ke Jogja mengingat hari Senin, 4 Januari 2010 kegiatan kursus musik gereja di Puskat sudah dimulai kembali.

Rasanya belum ingin meninggalkan rumah, masih ingin seminggu lagi bersama dengan kedua orang tuaku. Namun akhirnya 'ku memutuskan untuk kembali ke Jogja hari Minggu besok karena tidak ingin tertinggal materi kursus, selain itu ada satu tugas dari Puskat yang harus dikumpulkan paling lambat hari Senin depan. Hal lainnya adalah mengurus wisudaku yang akan dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 2010 mendatang.

Jika mau dihitung, kira-kira 1 minggu lagi aku akan tinggal di kota Jogja dengan segala nuansa yang ada di dalamnya. Berbagai peristiwa yang memperluas cakrawala berpikirku terbentuk di kota Jogja. Selain melalui kegiatan perkuliahan, pergaulan dengan teman-teman dan beberapa komunitas yang 'ku ikuti turut mewarnai hidupku.

Semula tidak terbayangkan bahwa diriku akan kuliah di luar kota. Semuanya berawal dari sepucuk surat yang dikirim ke rumahku oleh BBP (Badan Bina Pendeta) Sinode GKI Jabar yang berisi tentang pengumuman kelulusan hasil tes ujian masuk sekolah teologi. Berangkat dari sinilah aku merasakan hidupku mulai banyak mengalami perubahan, terutama dalam cara berpikir, bersikap serta berkomunikasi dengan orang lain setelah selama 5 tahun kuliah dan menjalani kehidupan di kota Jogja.

Di tahun yang baru ini aku sendiri tidak begitu berharap terlalu banyak, karena aku menyadari sepenuhnya bahwa sebuah harapan tidak akan menjadi kenyataan tanpa pemikiran, sikap / perilaku, serta tekad yang cukup kuat untuk mewujudkannya.

Satu hal yang pasti adalah bahwa kehidupan terus berlanjut, tinggal bagaimana aku menjalaninya sedemikian rupa dan sebaik mungkin. Suka duka kehidupan pasti datang dan pergi silih berganti, orang-orang datang dan pergi meninggalkan jejak di hati kita, dan kita tidak lagi menjadi pribadi yang sama.


Cirebon, 1 Januari 2010
00.01 am
Markus Hadinata

Jumat, 18 Desember 2009

Dicari: Seorang Profesional

“Mas Markus, kalo besok Minggu bisa mengiringi di ibadah pukul 8 pagi?”, suara di ujung telpon itu meminta tanggapan dariku. Hari itu adalah Jumat, berarti sisa 2 hari untuk berlatih! “Baiklah, besok Minggu saya bisa”, aku menyanggupi. “Ok, nanti di sms lagu-lagunya, latihan nanti malam pukul 18.30.”

Waktu itu menunjukkan pukul 2 siang. Jam 3 sore pun berlalu, jam 4 sore, jam 5 sore, tidak ada sms masuk yang berisi lagu-lagu yang janjinya akan dikirim lewat sms. Waktu terus berlalu sampai jam menunjukkan pukul 18.00. Akhirnya tanpa persiapan, aku menuju ke gereja untuk latihan.

Sampailah di gereja setelah kukayuh sepedaku dengan semangat ’45 mengingat ini baru pertama kalinya aku ditugasi mengiringi nyanyian kebaktian. Sesampainya di gereja, rupanya ada kelompok koor yang sedang berlatih di dalam ruang, tempat biasanya dilaksanakan ibadah. Kutunggu saja di luar, sampai seorang ibu keluar mengambil selebaran informasi gereja di depan meja.

Daripada menunggu terlalu lama aku bertanya saja kepadanya, “Ibu, kalo latihan untuk ibadah Minggu hari ini jam 18.30?” Tahukah apa jawab ibu itu? Jawab ibu itu, “Kalo ibadah hari Sabtu jam 5 sore, kalo hari Minggu jam 8 pagi dan jam 5 sore.” Doong doiiing duung dhuerrr, gak nyambung! Aku pun terpaksa menegaskan kembali pertanyaanku, mungkin saja pertanyaanku yang kurang bisa dipahami ibu itu, “Tadi siang saya mendapat telpon dari gereja, katanya hari ini pukul 18.30 latihan untuk ibadah Minggu.” “Oooooo, kalau begitu Mas ketemu sama Bu Mary aja di dalam. Sebentar saya beritahukan Bu Mary. Sebelumnya maaf, Mas namanya siapa?” “Markus”, jawabku singkat. Lalu ibu itu pergi ke dalam memberitahukan kedatanganku kepada Bu Mary.

Sesaat kemudian ibu itu keluar, “Mas Markus disuruh masuk sama Bu Mary di dalam.” Aku pun akhirnya masuk melihat Bu Mary yang tersenyum menyapaku meski sedang melatih paduan suara ibu-ibu. Setelah satu lagu selesai, ia menghampiriku dan menyodorkanku selebaran tata ibadah untuk hari Minggu beserta daftar lagu-lagu yang akan dilatih.

“Mohon tunggu sebentar ya Mas Markus, sedang latihan paduan suara. Sebentar lagi selesai.” Jam 18.30 berlalu, akhirnya pukul 18.45 baru mulai latihan lagu-lagu untuk ibadah Minggu. “Silahkan Mas Markus,” ibu Mary mempersilahkanku untuk berlatih.

Alamak! Masih salah-salah rupanya aku memainkan piano sampai ada kesan ibu Mary meragukan kemampuanku bermain piano. Ia bertanya, “Mas Markus tau kan lagu-lagunya? Ada kesulitan?” “Lagu-lagunya sih tau Bu, tapi belum saya latih berhubung ibu sendiri baru memberikan daftar lagunya sekarang. Ini juga baru pertama kalinya saya diminta untuk mengiringi piano.” Ibu Mary terkejut mendengar pernyataanku, “Lah, bukannya Mas Markus sudah sering mengiringi di Duta Wacana?” Salah pengertian rupanya ibu Mary ini, dan rupanya salah pengertian ini bermula dari info yang diterima dari staff kantor gereja! Aku sendiri memang bulan sebelumnya mengajukan diri untuk menjadi pengiring nyanyian jemaat (pianis) melalui kantor gereja. Aku hanya meninggalkan informasi nomor telpon seluler berikut nama kampus Duta Wacana jika mau menghubungiku. Tapi sama sekali aku tidak menyebutkan bahwa aku sudah sering menjadi pengiring nyanyian ibadah di kampus Duta Wacana!

Rupanya latihan paduan suara masih akan dilanjutkan oleh paduan suara gabungan menggunakan ruangan yang sama, masih Bu Mary yang melatih. Akhirnya latihan untuk ibadah Minggu ditunda! Kebetulan di sana ada seorang keyboardis yang sedang bertugas mengiringi latihan paduan suara. Seorang perempuan kira-kira hampir seusiaku. Dialah yang membantuku mencarikan akord-akord dari lagu-lagu yang baru saja kuperoleh dari Bu Mary. Rupanya dia terbiasa bermain transpos sehingga menyarankanku juga bermain menggunakan transpos pada keyboard. Alasannya, karena kalau main di tangga nada C lebih mudah, tidak perlu menyentuh tuts berwarna hitam.

Tadinya aku berlatih menggunakan piano akustik yang tidak ada fasilitas transposnya karena guru pianoku punya prinsip bahwa tiap muridnya harus bisa main lagu di kunci dasar mana pun tanpa fasilitas transpos! Karena bermain transpos menurutnya membentuk mentalitas gampangan, tidak mau repot-repot, instan. Tapi apa boleh buat, karena keadaan mendesak berhubung belum latihan sebelumnya, maka aku akhirnya menggunakan transpos pada keyboard. Selain itu, demi menghormati rekan yang membantuku mencarikan akord meski sebenarnya aku bisa mencarinya sendiri berbekal teori yang diajarkan guru pianoku mengenai harmonisasi akord.

Keesokan pagi harinya (hari Sabtu) tiba-tiba aku mendapat sms dari Bu Mary kalau aku tidak jadi mengiringi nyanyian ibadah besok Minggu. Inilah yang paling membuatku kesal. Padahal lagu-lagunya sudah dilatih meskipun belum sempurna. Dalam benakku berkata, “Mungkin pikir Bu Mary aku belum pengiring nyanyian ibadah profesional sehingga dikuatirkan akan mengacaukan suasana ibadah.” Aku membalas sms nya, “Ok, hanya saja lain kali kalau memberi tau jangan mendadak supaya bisa saya latih lagu-lagunya terlebih dahulu. Trims.” Kurang dari 2 menit Bu Mary membalas, “Maaf ya Mas Markus, soalnya kemarin kami juga kesulitan mencari organis karena tiba-tiba organis yang sudah dijadwal mengabarkan tidak bisa mengiringi. Kami sudah coba mencari organis yang lain yang biasa mengiringi di gereja tapi semua tidak bisa.” Ketika sms itu dikirim kepadaku, aku tau pasti bahwa pagi itu atau mungkin malam sebelumnya ia sudah mendapat organis selain diriku yang masih belum profesional ini!

Satu hal yang sebenarnya hendak kusampaikan melalui tulisan kali ini adalah bahwa seringkali gereja ingin yang enaknya saja, tapi enggan menerima yang tidak enak.

Kalau gereja membutuhkan seorang pendeta, inginnya pendeta yang sudah siap pakai, matang, profesional, kotbahnya mantap, pelawatannya bagus, rajin (semua hal yang indah dan positif). Sementara kalau gereja menginginkan seorang pengiring nyanyian ibadah, ya inginnya juga yang sudah profesional, sudah terbiasa mengiringi nyanyian ibadah, begitu diberi lagu-lagu langsung bisa memainkannya dengan sempurna! Tapi di sisi lain gereja enggan untuk repot-repot melakukan upaya pembinaan, kaderisasi, regenerasi yang menguras banyak tenaga, anggaran, waktu, perasaan. Mau yang enak tapi enggan menyentuh yang tidak enak. Mau sisi yang positif tapi enggan mengatasi bersama-sama sisi yang negatif. Padahal di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar sempurna, tidak punya sisi negatif atau kekurangan selain sisi positif, sekalipun ia adalah seorang rohaniwan (pendeta, bikhu, alim ulama, kiai, guru spiritual, penasehat rohani). Sikap yang tepat adalah berupaya mengembangkan sisi positif dan meminimalisir sisi negatif.

Hal serupa menjadi pengalaman salah seorang pendeta ketika hendak dipanggil dan ditahbis. Pendeta itu berkata kepada majelis, “Yang mau dilihat pendeta, nama, atau pendeta nama?” Andaikan saja seorang yang hendak ditahbis menjadi pendeta itu bernama Andre, yang diingini apakah “Pdt.” nya saja, “Andre”, atau “Pdt. Andre”? Maksudnya ketika jemaat hanya melihat jabatan “Pdt.” saja, maka seringkali harapannya terlalu tinggi! Sementara kalau menyebut “Nama” saja juga keliru karena dengan demikian mengandaikan siapa pun bisa memiliki jabatan sebagai pendeta terlepas dari pengetahuan, keterampilan, komitmen, serta proses yang seharusnya dijalani oleh seseorang yang merasa terpanggil menjadi pendeta. Sikap yang lebih realistis adalah jika jemaat menerima calon pendeta sepenuhnya. Maksudnya selain menerima segala kelebihan, tapi juga mau menerima kekurangan calon pendeta tersebut. Kelebihan berarti untuk dikembangkan bersama, sebaliknya kekurangan berarti untuk diatasi dan diminimalisir bersama.

Tidak ada seorang menjadi profesional tanpa melalui tahapan-tahapan (proses menjadi) secara terus-menerus. Tidak ada bayi yang terlahir langsung menjadi penyanyi terkenal, atlet profesional, pengkotbah ulung, pengusaha sukses, melainkan ada banyak faktor yang turut membentuknya menjadi seorang pribadi, misalnya faktor pendidikan dalam keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah, perguruan tinggi, komunitas iman, masyarakat.

Bagi yang sudah menjadi orang tua pastilah benar-benar merasakan betapa lelah dan menguras banyak energi dalam membesarkan dan mendidik seorang anak, tetapi itu semua toh dijalani dengan senang hati karena rasa cinta dan harapan yang besar bagi si anak sendiri. Kiranya demikian juga dengan gereja. Mau tenaga profesional? Ya harus mau memberi kesempatan kepada generasi muda serta mendampingi, membina, memfasilitasi, misalnya dengan menyediakan seorang pendamping profesional yang dekat dengan kaum muda. Memang untuk itu semua perlu banyak energi, dana, perasaan yang dikorbankan. Tapi semua energi, dana, perasaan yang telah dikorbankan tidak akan sia-sia ketika akhirnya generasi muda yang diberi kesempatan, dibina, didampingi tadi akhirnya siap untuk terjun ke dalam pelayanan sepenuhnya.

Menjadi anak-anak panah yang siap dilesatkan ke mana pun juga.


Jogjakarta, 18 Desember 2009
10.33 am
Markus Hadinata

Kamis, 26 November 2009

Musik dalam Hubungannya dengan Organisasi

Hidup manusia tidak bisa terlepas dari organisasi. Sejak lahir sampai meninggal manusia memiliki keterkaitan dengan diri dan lingkungannya. Mulai dari lingkup keluarga pun sudah ada upaya mengorganisasi, misalnya mengenai siapa yang mencari nafkah, siapa yang mengelola keuangan, siapa yang memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, mengantar anak-anak sekolah. Semua itu jelas memerlukan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat bersama.

Itu baru di keluarga. Lalu bagaimana dengan lingkup yang lebih luas, misalnya di masyarakat? Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup seorang diri saja. Ia membutuhkan manusia lain untuk hidup.

Lalu bagaimana jika organisasi dikaitkan dengan musik?

Jika kita pernah menonton sebuah pertunjukkan musik, entah itu di sebuah universitas, di lapangan terbuka, di conservatorium, atau di cafe, maka itu pun adalah hasil dari bagaimana pihak penyelenggara, pemain musik, dekorator panggung saling bekerja sama dan mengorganisir satu sama lain. Sebuah pertunjukkan musik yang menimbulkan kesan hebat tentu memerlukan upaya mengorganisasi yang baik serta detail, kemampuan komunikasi interpersonal, dan komitmen yang dibangun bersama dengan sungguh demi terlaksananya pertunjukkan musik tersebut.

Ada seorang teman penulis yang sama-sama mengikuti kursus musik gereja di Pusat Musik Liturgi Yogyakarta yang berkata, "Pusat Musik Liturgi ini kok mau ya repot-repot ngadain acara ibadah pentas dengan melibatkan anak-anak dari berbagai sekolah?" Sebuah pertanyaan retorik yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh Romo Karl Edmund Prier, SJ (Pimpinan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta) pada waktu beliau memberikan pelajaran kepada para siswa kursus, bahwa musik bukan hanya mengenai seni, bermain dengan bagus, tetapi juga mengenai organisasi!

Tanpa kemampuan melakukan organisasi yang baik, terencana, terstruktur rapi, maka sebuah pertunjukan musik tidak akan dapat terselenggara dengan baik. Dengan demikian musik hanya dapat dinikmati oleh si pemain saja, tapi tidak bisa dinikmati oleh khalayak yang lebih luas. Akibatnya keberadaannya lambat laun akan mengalami kemunduran karena tidak ada upaya pengenalan, promosi, atau pertunjukkan kepada komunitas yang lebih luas.


Jogjakarta, 26 November 2009
8.15 pm
Markus Hadinata

Sabtu, 21 November 2009

Sebuah Pengalaman Baru!


Kemarin sore saya diajak untuk menjadi singer dalam misa persiapan pernikahan teman dari temanku yang bertempat di salah satu rumah makan sekitar Malioboro. Jumat pagi sebelumnya kami sudah berlatih mengenai lagu2 yang akan dinyanyikan. Yang membuat agak Be Te adalah karena menunggu terlalu lama. Acara yang menurut temanku mulai pukul 5 sore ternyata baru mulai pukul 18.20 setelah romo datang! Agak kehilangan mood untuk bernyanyi karena menunggu terlalu lama, namun akhirnya kami bernyanyi juga.

Ada dua hal yang menarik dari pengalaman pertama menjadi singer di misa persiapan pernikahan kemarin. Pertama, ketika mengamati siapa saja tamu undangan yang hadir. Hanya beberapa gelintir saja tamu undangan yang masih berusia muda. Sebagian besar tamu sudah berusia dewasa dan lanjut. Mereka adalah keluarga dari kedua pihak mempelai yang akan melangsungkan pernikahan. Dugaan saya mungkin karena ini bukan acara resepsi, melainkan hanya misa persiapan pernikahan, maka yang hadir tidak begitu banyak melampaui 300 an orang seperti layaknya sebuah resepsi pernikahan.

Kedua, sewaktu romo berkotbah beliau mengawali kotbahnya dengan kalimat, "Kita hadir pada malam ini di sini bukan untuk makan, melainkan untuk berdoa bagi kedua pihak mempelai yang akan melangsungkan pernikahan." Dari sini pada tamu undangan disadarkan bahwa mereka hadir pada malam itu bukan untuk diri mereka sendiri, melainkan untuk berdoa bagi kebahagiaan kedua pihak mempelai.

Selanjutnya romo memberi 3 nasihat yang diambil dari Kitab Suci Ibrani 13:1-5 yang merupakan nasihat dari penatua kepada orang-orang Ibrani. Nasihat pertama sehubungan dengan memelihara kasih persaudaraan. Dengan santai romo turun dari mimbar dan menghampiri kedua mempelai, lalu bertanya kepada keduanya, "Sejak kapan berjumpa untuk pertama kalinya? Apa yang dilakukan untuk memelihara kasih persaudaraan?" Kedua mempelai memiliki jawaban sama terhadap pertanyaan romo sehubungan dengan memelihara kasih persaudaraan, "Sabar." Pihak perempuan berupaya sabar bila kekasihnya berkata, "Aku akan menjemputmu", ini artinya sejam lagi baru datang! Sementara pihak laki-laki berupaya sabar ketika kekasihnya ingin agar ia berhenti merokok bila ingin menjadi suaminya.

Nasihat kedua sehubungan dengan menaruh sikap hormat terhadap perkawinan untuk tidak mencemarkan tempat tidur. Kalau yang ini kiranya sudah jelas. Hubungan seperti layaknya suami istri hendaknya dilakukan setelah menikah. Selain terkait dengan budaya, secara sosial hubungan sepasang kekasih yang terlampau jauh sebelum nikah memunculkan perasaan yang kurang menyenangkan bagi komunitas yang lebih luas, yaitu keluarga, gereja, dan masyarakat. Secara rohani, janji pernikahan di hadapan TUHAN dan jemaat memberi landasan komitmen yang kuat dalam membangun hidup berumah tangga di dalam TUHAN.

Nasihat ketiga (terakhir) seturut dengan ayat bacaan di dalam Kitab Suci Ibrani tadi adalah jangan menjadi hamba uang. Sebuah pernikahan yang bahagia tidak akan terwujud ketika uang menjadi fokus perhatian utama di dalam hidup berkeluarga. Memang tidak bisa dipungkiri selama hidup kita memerlukan uang, namun jika uang sudah menyita seluruh perhatian dan energi, maka uang tidak lagi menjadi sarana melainkan 'tuan' yang memperbudak.

Ketiga nasihat inilah yang menjadi isi kotbah romo bagi kedua pihak mempelai yang akan melangsungkan pernikahannya esok hari. Nasihat yang lebih mungkin didengar oleh kedua pihak mempelai pada malam hari itu di dalam misa persiapan pernikahan daripada jika nasihat diberikan pada saat misa pernikahan. Karena pada saat misa pernikahan berlangsung, kedua pihak mempelai biasanya tidak begitu menaruh perhatian terhadap isi kotbah yang romo sampaikan karena rasa bahagia berlebihan yang melingkupi diri mereka. Hal ini juga merupakan pengalaman pribadi yang disampaikan romo di dalam kotbahnya malam itu, bedanya hal ini dialami ketika misa penahbisan menjadi romo. Romo tidak ingat lagi kotbah dari Mgr. (baca: monsinyur) karena rasa bahagia berlebihan yang melingkupi hati romo.

Bagaimanapun, proses lebih lanjut yang berlangsung seumur hidup adalah masalah penyesuaian, menciptakan harmoni (keselarasan / keindahan), yang merupakan bagian dari upaya memelihara dan mengembangkan cinta yang sudah ada. Lebih mudah mendirikan sebuah rumah daripada memeliharanya agar tetap terlihat asri, sejuk dan nyaman untuk ditinggali.

Semoga pengalaman saya pertama kalinya menjadi singer di misa persiapan pernikahan kemarin malam yang tertuang melalui notes kali ini bisa memberkati dan menginspirasi teman-teman semua. Salam.. ^^


Jogjakarta, 22 November 2009
7.18 am
dari dalam bilik kamar kost yang kecil dan dingin
(Musin Hujan)
Markus Hadinata

Sabtu, 31 Oktober 2009

Belajar Mengasihi Sama Seperti Allah Mengasihi

Selamat pagi teman2 semua,

Tadi pagi saya mengikuti kebaktian di GKI Ngupasan Yogyakarta pukul 6.30. Tema kotbah pagi tadi adalah mengenai Kerajaan Allah yang diwujudkan melalui tindakan kasih. Salah satu bagian kotbah yang menginspirasiku untuk menjalin persaudaraan dengan sesama tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras, bahasa adalah bahwa kasih Allah diberikan untuk semua. Kasih Allah bukan hanya diperuntukkan untukku, tapi juga untuk orang-orang lain. Namun untuk bisa memiliki gaya hidup kasih, tidak bisa langsung otomatis jadi dalam hitungan sehari atau dua hari. Diperlukan proses internalisasi terus-menerus melalui pengajaran Firman Allah dan kesediaan untuk taat kepada Allah dan Firman-Nya.

Terakhir, kotbah ditutup mengenai bagaimana kita menunjukkan kasih kepada orang yang telah melukai atau berbuat jahat kepada kita. Ketika kita dijahati, kecenderungan hati kita adalah membalasnya dengan kejahatan yang sama. Tetapi jika hal ini yang terjadi, maka tindakan kita bukan berdasarkan Firman Allah, melainkan sikap orang lain yang menjadi dasar kita bertindak. Sebaliknya, ketika Firman Allah menjadi landasan kita dalam bertindak, maka kita akan dimampukan untuk tetap mengasihi orang-orang jahat, sebab Allah pun mengasihi mereka dan menghendaki mereka bertobat sehingga mereka beroleh hidup dalam persekutuan dan rahmat Allah, serta dengan komunitas orang beriman.

Selamat belajar mengasihi..


Jogja, 1 November 2009
9.50 a.m.
Markus Hadinata

Jumat, 04 September 2009

MAKRAB 2009

Kemarin aku mengikuti Makrab (Malam Keakraban) Fakultas Theologia UKDW, Jogjakarta. Sebenernya uda bosen juga, karena ini Makrab ke-5 yang kuikuti.. Ada penampilan dari masing2 angkatan, dosen2 (tp tdk semua). Kami makan nasi tumpeng. Kenapa tumpeng yang dipilih saya kurang tau, yang saya tau tumpeng itu menyimbolkan nuansa ramai, akrab, harmoni, dan mengenyangkan. :)

Mungkin malam kemarin adalah Makrab terakhir yang kuikuti di F.Th. UKDW karena Februari 2010 mendatang aku lulus dan wisuda. Harapannya begitu! Karena tidak baik juga rasanya jika kelamaan di kampus.. :p

Demikian 'share' singkat di pagi hari ini.. Selamat menjalani hari ini dengan penuh cinta di hati..


Jogja, 5 Sept '09
7.31 am
Markus

Selamat Pagi Teman2... :)

Selamat pagi teman2 semua,

Ini adalah blog saya yang cantik.. jadi tanggal 5 Sept '09.
Silahkan memberi comment, share, atau sekedar melihat-lihat..

Salam,
Markus