Senin, 22 Maret 2010

Balada Tikus Mati, Kucing Hidup dan MANUSIA

Sepanjang perjalanan pulang dari Blok H setelah menikmati mie rebus yang super lezat dengan air minum mineral beli di Carrefour (biar hemat dikit ceritanya). Tepatnya di tikungan pertigaan pasar Aries, aku melihat seekor tikus besar tewas terbaring mengenaskan. Kedua tangan dan kakinya terlentang tiada berdaya, mulutnya terbuka sehingga gigi-giginya yang putih kelihatan. Aku tidak tahu ke manakah gerangan ruhnya saat ini.

Entah apa sebab tikus itu tewas. Kalau terlindas ban mobil atau motor sepertinya tidak mungkin, karena tubuhnya masih utuh. Andai terlindas ban mobil pastilah tubuhnya gepeng dengan usus keluar berhamburan di jalan. Kalau keracunan makanan.., mungkin iya, tapi mungkin juga tidak. Dugaanku adalah tikus ini terkena gangguan jantung (sok tau mode on). Hendak menyeberang jalan, tiba-tiba diklakson motor, kaget lalu mati dengan mengeluarkan bunyi ciiit.. ciiit. ciiiittt. (imajinasi tingkat tinggi mode on).

Seketika itu aku mencoba berempati terhadap tikus yang tewas barusan. Aku mencoba merenungkan ketika ia terlahir dari ibunya bersama dengan saudari-saudara kandungnya yang lahir pada waktu bersamaan. Ibunya memberi makan sampai ia sendiri mandiri. Lalu ia harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup di jalanan, di lorong selokan, di lorong-lorong pasar mengais-ngais sisa-sisa makanan yang jatuh di jalan pasar, di tempat sampah. Semua aktivitas mencari makan dilakukannya di malam hari untuk bertahan hidup. Siang hari terlalu riskan baginya untuk mencari makanan karena takut dikejar, ditangkap, dipukul, dibunuh manusia. Siang hari dipergunakannya untuk tidur di lubang got, mengumpulkan energi untuk aktivitas malam hari. Meski aku juga pernah lihat tikus yang nekat keluar di siang bolong. Mungkin karena tidak tahan lapar.

Berapa kira-kira usia tikus mati sebesar itu yang kulihat barusan? Enam bulan? Sepuluh bulan? Satu tahun? Tikus yang malang..

Lalu dalam perjalanan berikut aku berjumpa dengan seekor kucing hidup. Kucing adalah hewan yang hebat menurutku. Mengapa? Coba saja, ia bisa bertahan hidup layaknya tikus, hanya dari sampah-sampah sisa makanan yang dibuang manusia. Aku bicara soal kucing jalanan, bukan kucing rumahan. Karena kucing rumahan tentu tidak perlu hidup seperti layaknya kucing jalanan. Kucing rumahan tinggal mengeoooong, lalu diberi makan pada jam-jam tertentu. Kucing rumahan tidak usah kuatir menderita kelaparan, kudisan, banyak kutu layaknya kucing jalanan. Hanya satu yang menyamakan keduanya, yaitu sama-sama rakus bila melihat tikus hidup. Dikejarnya tikus yang dilihatnya, ditangkap, dipermainkan, akhirnya digigit sampai menciciiitt bunyinya, lalu dimakan bila perutnya sedang lapar. Kalau masih kenyang, paling tikus mati ditinggalkan begitu saja di tempat tersembunyi sampai manusia mencium bau bangkai tak sedap, ya tikus mati itu tadi.

Baik kucing hidup maupun tikus mati sama-sama tak berakal. Akalnya semata-mata digunakan untuk mencari makan, bagaimana bertahan hidup, mengeooong (kalau kucing), atau menciciiiit (kalau tikus), mencari makan, tidur, mencari makan, lalu tidur lagi tiada lelah. Sampai harinya tiba, maut menjemput mereka berdua. Tapi aku jarang melihat bangkai kucing, lebih sering melihat bangkai tikus.

Silahkan pembaca yang budiman menafsirkan sendiri cerita ini dengan bebas. Sebab bukankah hidup yang memiliki arti itu adalah hidup yang bebas? Bebas memilih bagaimana kita menjalani hidup, menentukan cara untuk mencari makan, bebas berimajinasi, pokoknya bebas, asal saja kebebasan kita tidak melanggar kebebasan orang lain.

Manusia tentu bukan tikus, juga bukan kucing.. Manusia diberi akal budi untuk menjadi manusiawi dan bukannya hewani yang taunya cuma mencari makan bila merasa lapar.

Meski kucing dan tikus hidup berdampingan dengan manusia, namun mereka beda. Bedanya kalau kucing berani tampil terang-terangan di hadapan manusia, sementara tikus tidak berani terang-terangan tampil di hadapan manusia. Bisa-bisa ditangkap, dibunuh, lalu dibuang ke got atau dikubur bila tikus sengaja menampakkan dirinya kepada manusia.

Aku bicara soal tikus hitam, bukan tikus putih, bukan pula hamster. Tikus putih dan hamster tentu beda lagi jalan hidupnya. Mereka dipelihara, disayang, malah diberi makan oleh manusia (meski sama-sama berjenis tikus).

Intinya manusia tidak suka kepada tikus hitam, tikus budug, tikus bau, tikus kali, kucing budug, kucing kurus, kucing botak, pokoknya semua yang jelek dan bau. Manusia lebih suka kucing angora, kucing bersih, hamster, malah kalau bisa disemprot minyak wangi biar wangi.


Jakarta, 22 Maret 2010
9.21 pm
Markus Hadinata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar