Kamis, 31 Desember 2009

Bercermin Diri: Sebuah Refleksi Tahun Baru


Mengapa tiap malam tahun baru hampir bisa dipastikan terdengar bunyi terompet dan petasan? Pertanyaan ini mengawali perenunganku di tahun baru 2010.

Dunia yang kita tinggali ini penuh dengan bunyi-bunyian. Pada waktu malam hari terdengar suara jangkrik bernyanyi dengan riangnya. Bunyi gemericik air kali mengalir di depan rumahku. Di kejauhan terdengar desingan roda-roda kereta api yang menyentuh rel dengan bunyi klaksonnya yang khas. Salah seorang tetanggaku terdengar mengucapkan ucapan selamat tahun baru.

Jika melihat sejarah perkembangan kehidupan manusia di bumi ini, manusia agaknya menyukai bunyi-bunyian. Manusia menciptakan berbagai jenis alat musik, lagu-lagu dan tari-tarian untuk mengisi kesunyian selain untuk menyalurkan bakat serta ekspresi diri tentunya. Bisa dibayangkan betapa sunyi senyap dunia ini tanpa bunyi-bunyian!

Sikap yang beragam pun ditunjukkan orang-orang dalam rangka menyambut tahun baru. Beberapa orang memilih berkumpul bersama keluarga tercinta sambil makan-makan di luar rumah (jajan), beberapa lagi memilih kumpul bersama teman-teman sambil pesta kecil-kecilan, beberapa umat Kristiani menyambut tahun baru dengan pergi mengikuti kebaktian malam tahun baru di gereja, beberapa orang lebih memilih untuk tidak pergi kemana-mana alias diam di kamar sambil berefleksi, tapi ada juga yang tidak mau ambil pusing alias tidur! :)

Aku sendiri termasuk tipe orang yang memilih untuk berdiam diri di kamar sambil berupaya merenungkan kehidupan yang telah kujalani di tahun 2009 lalu, serta berupaya memahami harapan-harapanku di tahun baru ini.

Sepanjang tahun 2009 aku sungguh merasakan berbagai peristiwa, pengalaman suka duka kehidupan yang membentuk aku menjadi semakin baik, bijaksana, serta lebih dewasa dalam menyikapi berbagai situasi kehidupan. Mulai dari kepulangan stage di GKI Kebonjati Bandung pada awal bulan Januari 2009, perjuangan mengerjakan skripsi selama satu semester (Januari s.d. Mei 2009), lulus ujian skripsi pada bulan Mei 2009, Bina Kader selama satu minggu pada minggu akhir bulan September 2009, dan satu semester yang masih harus kutempuh sehubungan dengan matakuliah Teologi Komunikasi yang belum kuambil.

Dan sekarang, tanpa terasa sudah hampir dua minggu lamanya aku berada di Cirebon! Hari Minggu besok aku sudah harus kembali lagi ke Jogja mengingat hari Senin, 4 Januari 2010 kegiatan kursus musik gereja di Puskat sudah dimulai kembali.

Rasanya belum ingin meninggalkan rumah, masih ingin seminggu lagi bersama dengan kedua orang tuaku. Namun akhirnya 'ku memutuskan untuk kembali ke Jogja hari Minggu besok karena tidak ingin tertinggal materi kursus, selain itu ada satu tugas dari Puskat yang harus dikumpulkan paling lambat hari Senin depan. Hal lainnya adalah mengurus wisudaku yang akan dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 2010 mendatang.

Jika mau dihitung, kira-kira 1 minggu lagi aku akan tinggal di kota Jogja dengan segala nuansa yang ada di dalamnya. Berbagai peristiwa yang memperluas cakrawala berpikirku terbentuk di kota Jogja. Selain melalui kegiatan perkuliahan, pergaulan dengan teman-teman dan beberapa komunitas yang 'ku ikuti turut mewarnai hidupku.

Semula tidak terbayangkan bahwa diriku akan kuliah di luar kota. Semuanya berawal dari sepucuk surat yang dikirim ke rumahku oleh BBP (Badan Bina Pendeta) Sinode GKI Jabar yang berisi tentang pengumuman kelulusan hasil tes ujian masuk sekolah teologi. Berangkat dari sinilah aku merasakan hidupku mulai banyak mengalami perubahan, terutama dalam cara berpikir, bersikap serta berkomunikasi dengan orang lain setelah selama 5 tahun kuliah dan menjalani kehidupan di kota Jogja.

Di tahun yang baru ini aku sendiri tidak begitu berharap terlalu banyak, karena aku menyadari sepenuhnya bahwa sebuah harapan tidak akan menjadi kenyataan tanpa pemikiran, sikap / perilaku, serta tekad yang cukup kuat untuk mewujudkannya.

Satu hal yang pasti adalah bahwa kehidupan terus berlanjut, tinggal bagaimana aku menjalaninya sedemikian rupa dan sebaik mungkin. Suka duka kehidupan pasti datang dan pergi silih berganti, orang-orang datang dan pergi meninggalkan jejak di hati kita, dan kita tidak lagi menjadi pribadi yang sama.


Cirebon, 1 Januari 2010
00.01 am
Markus Hadinata

Jumat, 18 Desember 2009

Dicari: Seorang Profesional

“Mas Markus, kalo besok Minggu bisa mengiringi di ibadah pukul 8 pagi?”, suara di ujung telpon itu meminta tanggapan dariku. Hari itu adalah Jumat, berarti sisa 2 hari untuk berlatih! “Baiklah, besok Minggu saya bisa”, aku menyanggupi. “Ok, nanti di sms lagu-lagunya, latihan nanti malam pukul 18.30.”

Waktu itu menunjukkan pukul 2 siang. Jam 3 sore pun berlalu, jam 4 sore, jam 5 sore, tidak ada sms masuk yang berisi lagu-lagu yang janjinya akan dikirim lewat sms. Waktu terus berlalu sampai jam menunjukkan pukul 18.00. Akhirnya tanpa persiapan, aku menuju ke gereja untuk latihan.

Sampailah di gereja setelah kukayuh sepedaku dengan semangat ’45 mengingat ini baru pertama kalinya aku ditugasi mengiringi nyanyian kebaktian. Sesampainya di gereja, rupanya ada kelompok koor yang sedang berlatih di dalam ruang, tempat biasanya dilaksanakan ibadah. Kutunggu saja di luar, sampai seorang ibu keluar mengambil selebaran informasi gereja di depan meja.

Daripada menunggu terlalu lama aku bertanya saja kepadanya, “Ibu, kalo latihan untuk ibadah Minggu hari ini jam 18.30?” Tahukah apa jawab ibu itu? Jawab ibu itu, “Kalo ibadah hari Sabtu jam 5 sore, kalo hari Minggu jam 8 pagi dan jam 5 sore.” Doong doiiing duung dhuerrr, gak nyambung! Aku pun terpaksa menegaskan kembali pertanyaanku, mungkin saja pertanyaanku yang kurang bisa dipahami ibu itu, “Tadi siang saya mendapat telpon dari gereja, katanya hari ini pukul 18.30 latihan untuk ibadah Minggu.” “Oooooo, kalau begitu Mas ketemu sama Bu Mary aja di dalam. Sebentar saya beritahukan Bu Mary. Sebelumnya maaf, Mas namanya siapa?” “Markus”, jawabku singkat. Lalu ibu itu pergi ke dalam memberitahukan kedatanganku kepada Bu Mary.

Sesaat kemudian ibu itu keluar, “Mas Markus disuruh masuk sama Bu Mary di dalam.” Aku pun akhirnya masuk melihat Bu Mary yang tersenyum menyapaku meski sedang melatih paduan suara ibu-ibu. Setelah satu lagu selesai, ia menghampiriku dan menyodorkanku selebaran tata ibadah untuk hari Minggu beserta daftar lagu-lagu yang akan dilatih.

“Mohon tunggu sebentar ya Mas Markus, sedang latihan paduan suara. Sebentar lagi selesai.” Jam 18.30 berlalu, akhirnya pukul 18.45 baru mulai latihan lagu-lagu untuk ibadah Minggu. “Silahkan Mas Markus,” ibu Mary mempersilahkanku untuk berlatih.

Alamak! Masih salah-salah rupanya aku memainkan piano sampai ada kesan ibu Mary meragukan kemampuanku bermain piano. Ia bertanya, “Mas Markus tau kan lagu-lagunya? Ada kesulitan?” “Lagu-lagunya sih tau Bu, tapi belum saya latih berhubung ibu sendiri baru memberikan daftar lagunya sekarang. Ini juga baru pertama kalinya saya diminta untuk mengiringi piano.” Ibu Mary terkejut mendengar pernyataanku, “Lah, bukannya Mas Markus sudah sering mengiringi di Duta Wacana?” Salah pengertian rupanya ibu Mary ini, dan rupanya salah pengertian ini bermula dari info yang diterima dari staff kantor gereja! Aku sendiri memang bulan sebelumnya mengajukan diri untuk menjadi pengiring nyanyian jemaat (pianis) melalui kantor gereja. Aku hanya meninggalkan informasi nomor telpon seluler berikut nama kampus Duta Wacana jika mau menghubungiku. Tapi sama sekali aku tidak menyebutkan bahwa aku sudah sering menjadi pengiring nyanyian ibadah di kampus Duta Wacana!

Rupanya latihan paduan suara masih akan dilanjutkan oleh paduan suara gabungan menggunakan ruangan yang sama, masih Bu Mary yang melatih. Akhirnya latihan untuk ibadah Minggu ditunda! Kebetulan di sana ada seorang keyboardis yang sedang bertugas mengiringi latihan paduan suara. Seorang perempuan kira-kira hampir seusiaku. Dialah yang membantuku mencarikan akord-akord dari lagu-lagu yang baru saja kuperoleh dari Bu Mary. Rupanya dia terbiasa bermain transpos sehingga menyarankanku juga bermain menggunakan transpos pada keyboard. Alasannya, karena kalau main di tangga nada C lebih mudah, tidak perlu menyentuh tuts berwarna hitam.

Tadinya aku berlatih menggunakan piano akustik yang tidak ada fasilitas transposnya karena guru pianoku punya prinsip bahwa tiap muridnya harus bisa main lagu di kunci dasar mana pun tanpa fasilitas transpos! Karena bermain transpos menurutnya membentuk mentalitas gampangan, tidak mau repot-repot, instan. Tapi apa boleh buat, karena keadaan mendesak berhubung belum latihan sebelumnya, maka aku akhirnya menggunakan transpos pada keyboard. Selain itu, demi menghormati rekan yang membantuku mencarikan akord meski sebenarnya aku bisa mencarinya sendiri berbekal teori yang diajarkan guru pianoku mengenai harmonisasi akord.

Keesokan pagi harinya (hari Sabtu) tiba-tiba aku mendapat sms dari Bu Mary kalau aku tidak jadi mengiringi nyanyian ibadah besok Minggu. Inilah yang paling membuatku kesal. Padahal lagu-lagunya sudah dilatih meskipun belum sempurna. Dalam benakku berkata, “Mungkin pikir Bu Mary aku belum pengiring nyanyian ibadah profesional sehingga dikuatirkan akan mengacaukan suasana ibadah.” Aku membalas sms nya, “Ok, hanya saja lain kali kalau memberi tau jangan mendadak supaya bisa saya latih lagu-lagunya terlebih dahulu. Trims.” Kurang dari 2 menit Bu Mary membalas, “Maaf ya Mas Markus, soalnya kemarin kami juga kesulitan mencari organis karena tiba-tiba organis yang sudah dijadwal mengabarkan tidak bisa mengiringi. Kami sudah coba mencari organis yang lain yang biasa mengiringi di gereja tapi semua tidak bisa.” Ketika sms itu dikirim kepadaku, aku tau pasti bahwa pagi itu atau mungkin malam sebelumnya ia sudah mendapat organis selain diriku yang masih belum profesional ini!

Satu hal yang sebenarnya hendak kusampaikan melalui tulisan kali ini adalah bahwa seringkali gereja ingin yang enaknya saja, tapi enggan menerima yang tidak enak.

Kalau gereja membutuhkan seorang pendeta, inginnya pendeta yang sudah siap pakai, matang, profesional, kotbahnya mantap, pelawatannya bagus, rajin (semua hal yang indah dan positif). Sementara kalau gereja menginginkan seorang pengiring nyanyian ibadah, ya inginnya juga yang sudah profesional, sudah terbiasa mengiringi nyanyian ibadah, begitu diberi lagu-lagu langsung bisa memainkannya dengan sempurna! Tapi di sisi lain gereja enggan untuk repot-repot melakukan upaya pembinaan, kaderisasi, regenerasi yang menguras banyak tenaga, anggaran, waktu, perasaan. Mau yang enak tapi enggan menyentuh yang tidak enak. Mau sisi yang positif tapi enggan mengatasi bersama-sama sisi yang negatif. Padahal di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar sempurna, tidak punya sisi negatif atau kekurangan selain sisi positif, sekalipun ia adalah seorang rohaniwan (pendeta, bikhu, alim ulama, kiai, guru spiritual, penasehat rohani). Sikap yang tepat adalah berupaya mengembangkan sisi positif dan meminimalisir sisi negatif.

Hal serupa menjadi pengalaman salah seorang pendeta ketika hendak dipanggil dan ditahbis. Pendeta itu berkata kepada majelis, “Yang mau dilihat pendeta, nama, atau pendeta nama?” Andaikan saja seorang yang hendak ditahbis menjadi pendeta itu bernama Andre, yang diingini apakah “Pdt.” nya saja, “Andre”, atau “Pdt. Andre”? Maksudnya ketika jemaat hanya melihat jabatan “Pdt.” saja, maka seringkali harapannya terlalu tinggi! Sementara kalau menyebut “Nama” saja juga keliru karena dengan demikian mengandaikan siapa pun bisa memiliki jabatan sebagai pendeta terlepas dari pengetahuan, keterampilan, komitmen, serta proses yang seharusnya dijalani oleh seseorang yang merasa terpanggil menjadi pendeta. Sikap yang lebih realistis adalah jika jemaat menerima calon pendeta sepenuhnya. Maksudnya selain menerima segala kelebihan, tapi juga mau menerima kekurangan calon pendeta tersebut. Kelebihan berarti untuk dikembangkan bersama, sebaliknya kekurangan berarti untuk diatasi dan diminimalisir bersama.

Tidak ada seorang menjadi profesional tanpa melalui tahapan-tahapan (proses menjadi) secara terus-menerus. Tidak ada bayi yang terlahir langsung menjadi penyanyi terkenal, atlet profesional, pengkotbah ulung, pengusaha sukses, melainkan ada banyak faktor yang turut membentuknya menjadi seorang pribadi, misalnya faktor pendidikan dalam keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah, perguruan tinggi, komunitas iman, masyarakat.

Bagi yang sudah menjadi orang tua pastilah benar-benar merasakan betapa lelah dan menguras banyak energi dalam membesarkan dan mendidik seorang anak, tetapi itu semua toh dijalani dengan senang hati karena rasa cinta dan harapan yang besar bagi si anak sendiri. Kiranya demikian juga dengan gereja. Mau tenaga profesional? Ya harus mau memberi kesempatan kepada generasi muda serta mendampingi, membina, memfasilitasi, misalnya dengan menyediakan seorang pendamping profesional yang dekat dengan kaum muda. Memang untuk itu semua perlu banyak energi, dana, perasaan yang dikorbankan. Tapi semua energi, dana, perasaan yang telah dikorbankan tidak akan sia-sia ketika akhirnya generasi muda yang diberi kesempatan, dibina, didampingi tadi akhirnya siap untuk terjun ke dalam pelayanan sepenuhnya.

Menjadi anak-anak panah yang siap dilesatkan ke mana pun juga.


Jogjakarta, 18 Desember 2009
10.33 am
Markus Hadinata