Senin, 29 Maret 2010

Tragedi Pingsan dan Seorang Bapak Berkepala Plontos

Seketika perempuan (kira-kira berusia 27 th) di sebelah kanan itu pingsan. Rupanya ia tidak tahan harus berdiri terlalu lama, berdesak-desakan, ditambah lagi udara yang pengap di tengah-tengah kerumunan ratusan orang yang mengantri bus way, kira-kira hampir satu jam! Pemandangan ini terjadi kemarin malam, tepatnya di halte Harmoni sekitar pukul 19.15 WIB. Laki-laki bertubuh kekar di sampingnya pun segera memeganginya seraya memanggil petugas jaga, “Pak, ada yang pingsan.” Sambil dibantu petugas jaga, perempuan yang pingsan itu dibawa ke luar dari antrian menuju ke belakang. Sempat kudengar celotehan dari sesama pengantri, “Wah, nanti kalau sudah sadar terus harus antri lagi, dan tiba-tiba pingsan lagi, gak pulang-pulang dong?”

Aku sendiri merasa cukup kemeng (pegal) di bahuku karena menggendong ransel besar berisi perlengkapan Bina Kader esok. Tepat di depanku berdiri seorang Bapak (kira-kira berusia 52 th) yang rambutnya mulai putih, berminyak dan menipis, plontos di bagian tengah ke belakang. Segera terlihat kulit kepalanya yang licin berkeringat di bagian yang plontos itu. Berulang kali kulihat ia melihat jam tangannya. Pikirku, “Biar dilihat seribu kali juga waktu akan terus berjalan Pak, lagipula antrian masih panjang.” Dari raut wajahnya aku bisa membaca, Bapak tadi adalah orang yang terlampau serius menjalani hidup, “miskin” humor, menggunakan otaknya teramat keras demi mencari nafkah di tengah-tengah kota Jakarta yang apa-apa serba mahal, ditambah lagi dengan iklim persaingan tingkat tinggi. Yang bisa survive (bertahan) adalah mereka yang pandai, punya skill tertentu, dan punya modal, entah modal buat naik bus way supaya bisa pergi-pulang dari rumah menuju tempat kerja, modal keterampilan komunikasi interpersonal, modal percaya diri, modal sepatu dan pakaian yang rapi, modal untuk beli minyak rambut biar kelihatan oke. Bagi yang memutuskan untuk berdagang, minimal punya modal gerobak, tenda, serta keterampilan masak, goreng-menggoreng, merebus, meracik bumbu-bumbu supaya menghasilkan makanan yang bisa dijual dan disukai orang-orang yang berlalu-lalang di jalan.

Kembali ke persoalan Bapak berkepala plontos tadi. Sepertinya sudah merupakan nasib dari sononya bahwa laki-laki ditetapkan sebagai pencari nafkah. Ketika laki-laki dewasa pergi dari rumah orang tuanya, memutuskan untuk berumah tangga, mengambil seorang istri, maka dirinya juga harus siap untuk menjalani nasibnya sebagai pencari nafkah anggota keluarga. Apalagi kalau dirinya memutuskan untuk mencari nafkah di kota besar seperti di Jakarta dengan kebutuhan hidup berbiaya tinggi.

Betapa tidak, beli nasi goreng di warung tenda pinggir jalan saja harus satu paket dengan minumnya, alias minumnya ya harus beli lagi. Biasanya minuman kemasan di dalam botol, entah botolnya terbuat dari plastik, kaleng atau beling. Zaman sekarang gak ada yang gratisan, semuanya mesti bayar pake uang. Kalau dibilang uang bukanlah segalanya emang iya, tapi nyatanya hidup ini butuh uang! Sementara bagi pihak perempuan biasanya tidak ambil pusing memeras otak guna berpikir bagaimana caranya mencari penghasilan tambahan guna menghidupi kebutuhan keluarga. Sebab urusan mencari nafkah sudah diserahkan kepada suaminya, terutama semenjak peristiwa kelahiran anak pertamanya. Maka amat jarang kita temui perempuan berusia 52 tahunan yang berkepala plontos dari bagian tengah ke belakang, sekalipun dirinya hidup di kota besar, sebut saja misalnya Jakarta.


Jakarta, 30 Maret 2010
11.08 am
Markus Hadinata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar