Minggu, 24 Januari 2010

Kebenaran yang Membebaskan

"Kebenaran adalah sesuatu yang kita lihat, sentuh, dan alami. Kebenaran bukan sesuatu yang kita ciptakan, melainkan sesuatu yang dengan rendah hati kita terima dan kita sambut; sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri." [1]

Di jaman sekarang manusia kerap kali mengalami kebisingan hati. Media massa, suara kendaraan, kekuatiran, kecemasan, kebimbangan, amarah, ketakutan akan ketidakpastian hidup, semua itu mengusir keheningan dari hati kita yang terdalam. Keheningan menjadi sesuatu yang sukar dialami dan dirasakan oleh manusia jaman sekarang. Padahal di dalam batin yang hening manusia akan menemukan kebenaran yang membebaskan dirinya dari segala kekacauan, keterpecahan, dan ilusi yang membelenggu dirinya.

Kebenaran akan membebaskan manusia dari ilusi. Ilusi bahwa manusia adalah sempurna, hebat, tidak memiliki kekurangan. Ilusi juga berarti merasa aman di dalam pengendalian orang lain, konsumerisme akibat pengaruh media massa, merasa tidak perlu berubah.

Untuk dapat berjumpa dengan kebenaran, manusia harus senantiasa terbuka, mau mendengarkan, menerima bantuan dari orang-orang yang menunjukkan kerapuhan diri kita sendiri sehingga kita dengan rendah hati mau berubah.

Manusia tidak dapat menguasai kebenaran, menguncinya di dalam hati dan tubuhnya. Kebenaran bebas berkelana ke manapun ia inginkan.

"AKU ADALAH AKU" adalah kebenaran dan terang dunia; dan mereka yang mengikuti "AKU ADALAH AKU" juga berada dalam terang dan hidup dalam kebenaran. Mereka juga dapat berkata, "Aku adalah aku", "Aku bebas karena aku telah menyadari bahwa aku dicintai oleh Allah, dengan segala kerapuhan dan kefanaan diriku, dan dengan semua yang indah dan agung juga. Aku mempunyai perutusan bersama dengan yang lain untuk menjadi tanda perdamaian dan kasih." [2]

Dalam salah satu surat dari Westerbork, Etty Hillesum menceritakan, pada suatu hari ia melihat ratusan orang Yahudi masuk ke dalam kereta api yang akan membawa mereka ke kamar gas di Auschwitz. Mereka menyanyikan mazmur. Lalu ia memandang wajah-wajah kejam dan beku tentara-tentara Nazi: mana dari kedua kelompok ini yang bebas, bebas menjadi diri mereka sendiri?


Footnote:
[1] Jean Vanier, Tenggelam ke Dalam Misteri Yesus: Menghayati dan Mendalami Injil Yohanes, Yogyakarta: Kanisius, 2009, p. 218
[2] Ibid., p. 217


Jakarta, 24 Januari 2010
1.16 pm
Markus Hadinata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar